Beberapa tahun terakhir, dunia kerja sedang mengalami perubahan besar. Jika dulu perusahaan berlomba mencari talenta muda untuk posisi administrasi, customer service, atau staf pemula, kini tren tersebut mulai bergeser. Menurut laporan global dari The Guardian pada Oktober 2025, sekitar 41% perusahaan di seluruh dunia sudah menggunakan kecerdasan buatan (AI) untuk menggantikan sebagian pekerjaan entry-level. Fenomena ini mulai disebut sebagai “Job-pocalypse”, atau krisis tenaga kerja pemula.
Bagi banyak orang muda yang baru lulus kuliah atau sedang mencari pengalaman pertama, kondisi ini tentu mengkhawatirkan. Pekerjaan yang dulunya dianggap “pintu masuk” ke dunia profesional kini makin sulit didapat, karena sebagian tugasnya telah diambil alih oleh sistem otomatis. Contohnya sederhana: perusahaan kini memakai chatbot untuk melayani pelanggan, AI untuk menganalisis data laporan keuangan, bahkan algoritma pintar untuk mengatur jadwal dan dokumen.
Dampaknya untuk Indonesia
Indonesia adalah salah satu negara dengan populasi muda terbesar di Asia Tenggara. Setiap tahun, jutaan anak muda masuk ke pasar kerja, bersaing memperebutkan posisi yang jumlahnya tidak selalu bertambah. Jika tren adopsi AI global ini juga mengalir ke dalam negeri — dan sudah mulai terlihat di banyak sektor — maka tekanan terhadap peluang kerja entry-level akan semakin terasa.
Bidang administrasi, keuangan, marketing, dan layanan pelanggan menjadi yang paling cepat terdampak. Banyak perusahaan mulai mengurangi posisi rutin dan menggantinya dengan sistem otomatis yang dianggap lebih cepat, akurat, dan murah. Di sisi lain, kebutuhan terhadap pekerja dengan kemampuan analisis, berpikir kritis, serta bisa berkolaborasi dengan AI justru meningkat.
Lalu, Apa yang Bisa Dilakukan?
Fenomena ini tidak bisa dihindari, tapi bisa diantisipasi. Ada dua pihak utama yang perlu bergerak cepat: dunia pendidikan dan dunia kerja.
- Institusi pendidikan dan pelatihan — terutama universitas, politeknik, dan lembaga vokasi — harus berani menyesuaikan kurikulum. Mahasiswa tak cukup hanya belajar teori, tapi juga perlu memahami bagaimana cara bekerja berdampingan dengan teknologi. Misalnya, memahami cara memanfaatkan AI untuk riset, membuat strategi digital, atau membantu proses kreatif. Skill seperti prompt engineering, data literacy, hingga etika AI perlu masuk ke ruang kelas.
- Perusahaan dan pelaku industri juga punya peran penting. Alih-alih menggantikan semua posisi manusia, mereka bisa mengarahkan tenaga kerja yang ada untuk menjalani retraining atau upskilling. Dengan begitu, staf yang sebelumnya mengerjakan tugas rutin bisa beralih ke posisi yang lebih strategis — misalnya, pengawasan kualitas data, pengembangan produk berbasis AI, atau analisis pasar.

Kesimpulan
Krisis tenaga kerja pemula akibat AI bukan sekadar isu luar negeri — ini adalah tantangan nyata bagi Indonesia. Tapi di balik kekhawatiran itu, ada peluang besar untuk beradaptasi dan naik level. Generasi muda Indonesia harus berani berubah: bukan takut kalah oleh mesin, tapi belajar bagaimana bekerja sama dengan mesin.
Karena pada akhirnya, masa depan kerja bukan tentang siapa yang paling cepat — tapi siapa yang paling mampu beradaptasi.
Written By Ian Iskandar

